VIDEO SITU GINTUNG DARI NARASUMBER YANG TERPILIH

Sabtu, 28 Maret 2009

Lokasi Bencana Situ Gintung Jadi Tontonan, Korban Geram

[ Minggu, 29 Maret 2009 ]
Lokasi Bencana Situ Gintung Jadi Tontonan, Korban Geram
Dihajar bencana bertubi-tubi membuat masyarakat punya cara tersendiri dalam menyikapinya. Meski bagi korban, musibah banjir bah Situ Gintung mendatangkan kesedihan yang tak tertanggungkan, bagi sebagian orang bencana dahsyat itu menjadi alternatif tujuan untuk menghabiskan liburan akhir pekan.

Dari pantauan koran ini, lokasi bencana Situ Gintung di Cirendeu, Tangerang Selatan, kemarin (28/3) dipadati ratusan orang. Selain keluarga korban dan tim penolong, tak sedikit yang datang sekadar melihat-lihat. Kedatangan banyak orang yang menjadikan bencana Situ Gintung sebagai tontonan itu sama sekali tak membantu. Bahkan, bagi keluarga korban dan Tim SAR, keberadaan mereka justru membuat kesal.

Datang dengan membawa kendaraan membuat jalan menuju Ciputat macet total. Memang sebagian kendaraan hanya berlalu lalang. Namun, tak sedikit yang menyempatkan berhenti untuk melihat lokasi. Kondisi itu membuat akses jalan ke lokasi dan posko bencana di STIE Ahmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah Jakarta padat.

Para pengunjung memarkir kendaraan di sepanjang Jalan Ciputat Raya hingga sebelum kampus Universitas Islam Nasional (UIN) Syarif Hidayatullah. Area itu disewakan warga sekitar untuk tempat parkir dengan tarif sekitar Rp 2.000.

Kedatangan banyak orang itu sama sekali tak menghibur keluarga korban. Salah satunya dirasakan Suyah, 55, yang berduka karena kehilangan ibu, adik, dan dua keponakannya. "Kita jadi kayak tontonan, padahal kita sedang berduka," kata Suyah lirih.

Diceritakan Suyah, dirinya bahkan tak bisa masuk posko karena petugas menganggapnya sebagai pengunjung. "Padahal, saya mau menguburkan adik saya. Isi seperti bukan tempat bencana, tapi taman rekreasi," kata Suyah.

Yang lebih mengenaskan, sejumlah pengunjung memanfaatkan lokasi musibah Situ Gintung untuk berfoto-foto. Pengunjung, baik dari kalangan muda, orang tua, menengah, dan atas berusaha mengabadikan diri dengan latar belakang kerusakan permukiman yang sebetulnya mengenaskan itu.

Bahkan, ada juga yang sengaja datang untuk mendapat gambar latar belakang foto yang akan dimuat di situs pertemanan facebook. Salah satunya Iqbal, seorang karyawan, 29. "Selain mau lihat lokasi, saya juga mau foto-foto buat dokumentasi pribadi. Kemungkinan mau saya taruh di facebook," ujar pria yang berdomisili di Ciputat, Tangerang.

Jika Iqbal ingin mendapat foto untuk facebook, sebagian pengunjung lain datang karena tertarik dengan berita media. Seperti pengakuan seorang ibu bernama Neni Haryati yang mengaku tak sedang mencari keluarga yang mungkin jadi korban dalam musibah tersebut.

Membawa suami dan anak-anaknya, Neni hanya mengaku penasaran dengan berita sebuah media yang menyebut bencana Situ Gintung sedahsyat gelombang tsunami di Aceh. Bagaimana kesannya setelah melihat langsung? "Keren banget kayak tsunami," kata Neni.

Menonton bencana juga menjadi pemandangan sehari-hari di lokasi bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Bahkan, di tempat bencana banjir lumpur yang sudah menenggelamkan enam desa itu, setiap hari dijumpai rombongan yang datang dari berbagai kota di Indonesia untuk menyaksikan pusat semburan lumpur.

Berduyun-duyunnya warga untuk menonton bencana Situ Gintung, menurut ahli hukum lingkungan Dr Suparto Wijoyo, merupakan bentuk euforia masyarakat terhadap kejadian dramatis. Pengamat sosial dari Universitas Airlangga itu menilai warga ingin menjadi bagian dari sebuah kejadian yang dicitrakan secara terus-menerus oleh televisi dan media lain. "Jadi, seolah-olah bencana itu jadi tujuan wisata," ujarnya.

Padahal, sebenarnya, tragedi Situ Gintung merupakan kejahatan pemerintahan. "Karena dicitrakan secara langsung dan terus-menerus, muncul kesan bahwa berada di lokasi bencana itu heroik, hebat, dan mengikuti perkembangan. Rakyat jadi lupa penyebab utama tragedi itu," katanya.

Karena itu, Suparto mendesak penyelidikan terhadap kasus jebolnya tanggul. "Ini bukan bencana tanpa sanksi hukum. Menurut UU No 26 Tahun 2007 ini merupakan kejahatan tata ruang," katanya.

Masyarakat yang sekadar menonton di lokasi juga tak bisa disalahkan. "Secara etis, memang kurang tepat karena banyak yang berduka sementara mereka hanya berfoto-foto. Tapi, bisa juga diambil sisi lain bahwa kesadaran sosial masyarakat terhadap sebuah peristiwa meningkat," katanya. (din/ref/jpnn/rdl/kim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar